
Power Wheeling Akan Di Hapus Dalam RUU EBET Hal Ini Di Lakukan Karena Memiliki Dampak Pada Energi Terbarukan. Saat ini Power Wheeling atau mekanisme yang memungkinkan pihak swasta menggunakan jaringan listrik milik PLN untuk mendistribusikan listrik kepada pelanggan lain, akan dihapus dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena beberapa alasan utama. Pemerintah dan DPR menilai bahwa skema ini berpotensi merugikan PLN sebagai penyedia listrik utama di Indonesia. Jika power wheeling diterapkan, swasta bisa menjual listrik langsung ke konsumen tanpa harus membangun jaringan distribusi sendiri, yang dapat menggerus pangsa pasar PLN. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas keuangan PLN yang selama ini bertanggung jawab atas penyediaan listrik nasional, termasuk di daerah terpencil yang kurang menguntungkan secara bisnis.
Selain itu, penghapusan power wheeling dalam RUU EBET juga didasarkan pada aspek keadilan dan keberlanjutan sistem ketenagalistrikan nasional. PLN memiliki kewajiban untuk melistriki seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah terpencil yang secara ekonomi tidak menarik bagi investor swasta. Jika swasta hanya berfokus pada wilayah yang menguntungkan, di khawatirkan akan terjadi ketimpangan dalam akses listrik. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap kebijakan yang di terapkan tetap mendukung pemerataan energi listrik bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Alasan lainnya adalah potensi dampak terhadap investasi infrastruktur listrik. Dengan adanya power wheeling, investor swasta dapat menggunakan infrastruktur yang sudah ada tanpa harus membangun sendiri. Hal ini bisa menurunkan insentif bagi pembangunan jaringan listrik baru, terutama di wilayah yang belum terjangkau. Pemerintah juga khawatir bahwa mekanisme ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem kelistrikan nasional, terutama dalam hal pengendalian tarif dan kualitas layanan.
Mempertimbangkan Beberapa Opsi Lain
Untuk mendukung transisi energi di Indonesia tanpa mengandalkan skema power wheeling, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat Mempertimbangkan Beberapa Opsi Lain. Salah satunya adalah mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui kebijakan insentif bagi investor. Pemerintah dapat memberikan subsidi, keringanan pajak, atau skema pembiayaan hijau bagi proyek pembangkit listrik berbasis EBT seperti tenaga surya, angin, dan hidro. Dengan adanya insentif ini, investasi di sektor EBT menjadi lebih menarik dan kompetitif di bandingkan energi fosil.
Selain itu, pemerintah bisa meningkatkan peran energi terbarukan dalam bauran energi nasional melalui program seperti Renewable Portfolio Standard (RPS). Kebijakan ini dapat mewajibkan penyedia listrik, termasuk PLN, untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam total produksi listriknya. Dengan adanya regulasi yang mengharuskan penggunaan energi bersih, transisi energi bisa berjalan lebih cepat tanpa perlu mengandalkan mekanisme power wheeling.
Opsi lain yang dapat di ambil adalah mempercepat pengembangan smart grid atau jaringan listrik pintar. Teknologi ini memungkinkan distribusi energi yang lebih efisien dan fleksibel, terutama untuk mengakomodasi pembangkit listrik berbasis EBT yang cenderung fluktuatif. Dengan adanya smart grid, sistem kelistrikan nasional dapat lebih adaptif terhadap perubahan pasokan dan permintaan energi, sehingga stabilitas jaringan tetap terjaga.
Pemerintah juga dapat mendorong model bisnis berbasis komunitas, seperti pembangkit listrik tenaga surya di desa-desa atau kawasan terpencil. Dengan skema ini, masyarakat dapat berpartisipasi langsung dalam transisi energi melalui pembentukan koperasi energi atau program desa mandiri energi. Model ini tidak hanya membantu percepatan transisi energi, tetapi juga meningkatkan kemandirian energi di daerah yang sulit di jangkau oleh jaringan PLN.
Banyak Pelaku Usaha Mengandalkan Power Wheeling
Banyak Pelaku Usaha Mengandalkan Power Wheeling karena mekanisme ini memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam pemanfaatan energi listrik, terutama bagi perusahaan yang ingin menggunakan energi baru terbarukan (EBT) tanpa harus membangun jaringan distribusi sendiri. Dengan power wheeling, perusahaan yang memiliki pembangkit listrik berbasis EBT bisa menjual atau menyalurkan listrik ke lokasi lain melalui jaringan listrik milik PLN. Hal ini sangat menguntungkan bagi industri yang memiliki fasilitas di berbagai daerah tetapi ingin mengoptimalkan pasokan listrik dari sumber energi yang lebih murah atau lebih ramah lingkungan.
Selain itu, skema power wheeling memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya energi. Jika mereka bisa mendapatkan listrik dari sumber yang lebih efisien di bandingkan tarif listrik PLN, maka biaya operasional bisa di tekan. Industri besar seperti manufaktur, tambang, atau perusahaan dengan kebutuhan listrik tinggi cenderung mencari cara untuk mengamankan pasokan energi yang stabil dengan harga lebih kompetitif. Power wheeling memberikan solusi bagi mereka untuk membeli listrik. Dari produsen independen yang menawarkan harga lebih rendah di bandingkan tarif reguler PLN.
Dari perspektif pengembang EBT, power wheeling juga menjadi peluang untuk mempercepat investasi di sektor energi terbarukan. Tanpa skema ini, pengembang harus menjual listriknya ke PLN. Atau membangun jaringan distribusi sendiri, yang bisa sangat mahal dan tidak efisien. Dengan adanya power wheeling, mereka bisa langsung menjual listrik ke konsumen akhir yang membutuhkan energi bersih. Seperti perusahaan multinasional yang memiliki target dekarbonisasi. Hal ini juga mendukung target Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan bauran energi terbarukan.
Solusi Alternatif Yang Bisa Mengakomodasi Semua Pihak
Jika power wheeling di hapus, Solusi Alternatif Yang Bisa Mengakomodasi Semua Pihak baik pemerintah, PLN, pelaku usaha, maupun pengembang energi baru terbarukan (EBT), perlu di rancang dengan baik agar transisi energi tetap berjalan optimal. Salah satu solusinya adalah memperkuat skema kerja sama antara PLN dan pengembang EBT melalui mekanisme Power Purchase Agreement (PPA) yang lebih fleksibel. Dengan skema ini, PLN tetap menjadi satu-satunya distributor listrik, tetapi pengembang EBT di berikan jaminan harga dan kepastian pasar, sehingga mereka tetap memiliki insentif untuk berinvestasi. PLN juga bisa di beri mandat untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran listrik nasional. Agar industri tetap bisa mendapatkan pasokan energi hijau.
Selain itu, pemerintah dapat mengembangkan mekanisme captive power yang lebih terintegrasi. Dalam skema ini, perusahaan tetap bisa membangun pembangkit listrik sendiri, tetapi dengan regulasi yang lebih jelas mengenai penggunaan dan distribusinya. Misalnya, industri yang memiliki lebih dari satu lokasi operasional bisa di perbolehkan menggunakan listrik dari pembangkit internalnya. Dengan jalur khusus yang tidak masuk dalam sistem transmisi PLN, selama tidak mengganggu stabilitas jaringan nasional. Dengan cara ini, industri masih bisa mengakses energi yang lebih murah dan ramah lingkungan tanpa harus bergantung pada power wheeling.
Solusi lain yang bisa di terapkan adalah pengembangan program Renewable Energy Certificate (REC) yang lebih luas. Melalui sistem ini, perusahaan yang ingin menggunakan listrik berbasis EBT tetapi tidak bisa langsung membangun pembangkit sendiri. Bisa membeli sertifikat energi hijau dari PLN atau pengembang EBT. Ini memberikan fleksibilitas bagi industri untuk memenuhi target keberlanjutan mereka tanpa harus mengandalkan power wheeling.
Pemerintah juga dapat mendorong pengembangan smart grid atau jaringan listrik pintar yang memungkinkan integrasi energi terbarukan secara lebih efisien. Dengan sistem ini, PLN tetap mengontrol distribusi listrik, tetapi pembangkit listrik swasta bisa lebih mudah terhubung. Ke jaringan nasional dengan mekanisme yang lebih transparan dan kompetitif. Inilah beberapa solusi untuk menggantikan Power Wheeling.