
Stasiun Cikajang Terbengkalai 43 Tahun Dan Ini Merupakan Tempat Transportasi Dan Pengangkutan Hasil Bumi Di Masa Lalu. Saat ini Stasiun Cikajang di Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan stasiun kereta api tertinggi di Indonesia dengan ketinggian mencapai 1.246 meter di atas permukaan laut. Dibangun pada masa kolonial Belanda dan mulai beroperasi pada tahun 1930, stasiun ini menjadi bagian penting dari jalur kereta Cibatu–Garut–Cikajang. Jalur tersebut dulu berfungsi vital sebagai pengangkut hasil bumi dari daerah pegunungan selatan Jawa Barat menuju kota-kota besar. Namun seiring waktu, jalur ini mulai kehilangan pamor. Pada tahun 1982, operasionalnya resmi dihentikan karena kalah bersaing dengan transportasi darat lainnya, dan sejak saat itu Stasiun Cikajang terbengkalai.
Selama lebih dari 43 tahun terbengkalai, bangunan stasiun ini masih berdiri, namun dalam kondisi yang memprihatinkan. Dindingnya sudah mulai mengelupas, kaca-kaca jendela hilang, dan halaman sekitar dipenuhi semak belukar. Beberapa bagian stasiun bahkan kini dimanfaatkan warga sekitar sebagai tempat menyimpan barang rongsokan. Meskipun begitu, identitas sejarahnya masih terasa. Nama “Station Tjikadjang” masih terpahat di dinding gedung, menunjukkan nilai historis yang terkandung di dalamnya. Tulisan tahun pendirian dan penutupan operasional juga masih bisa dilihat pada bagian pintu belakang bangunan.
Pemerintah telah menyampaikan rencana untuk mereaktivasi jalur kereta ini, termasuk menghidupkan kembali Stasiun Cikajang. Namun, prosesnya tidak mudah karena terbentur keterbatasan anggaran dan tantangan teknis lainnya. Reaktivasi ini di harapkan mampu menghidupkan kembali perekonomian lokal, memperlancar distribusi barang, dan membuka akses wisata ke daerah-daerah pegunungan di selatan Garut. Bagi masyarakat setempat, kembalinya jalur ini bisa menjadi harapan baru setelah puluhan tahun terputus dari jaringan transportasi kereta api. Jika reaktivasi benar-benar terwujud, maka Stasiun Cikajang bisa kembali berfungsi tidak hanya sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai bagian dari pelestarian sejarah dan budaya daerah.
Warisan Arsitektur Kolonial
Stasiun Cikajang merupakan salah satu Warisan Arsitektur Kolonial Belanda yang masih berdiri di Indonesia, meskipun kini dalam kondisi terbengkalai. Di bangun pada tahun 1930, stasiun ini di rancang mengikuti gaya arsitektur khas kolonial yang fungsional namun tetap memiliki nilai estetika tinggi. Terletak di dataran tinggi Kabupaten Garut dengan ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut, bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai simpul transportasi, tetapi juga menjadi simbol kemajuan teknologi dan infrastruktur pada masa Hindia Belanda. Keberadaan stasiun ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial saat itu mengembangkan jaringan rel kereta api hingga ke wilayah pegunungan untuk mendukung distribusi hasil bumi, seperti teh, kopi, dan karet, dari pedalaman ke pelabuhan.
Ciri khas arsitektur kolonial pada Stasiun Cikajang dapat terlihat dari bentuk bangunannya yang sederhana namun kuat, dengan atap miring yang lebar, jendela besar untuk pencahayaan alami, dan struktur dinding yang tebal guna menahan suhu dingin pegunungan. Tulisan “Station Tjikadjang” yang masih terlihat di dinding gedung menggunakan ejaan lama, memperkuat kesan sejarah yang melekat pada bangunan ini. Meskipun banyak bagian bangunan telah rusak akibat tidak terawat, keaslian elemen-elemen arsitekturnya masih dapat di kenali, menjadikannya sebagai saksi bisu era kolonial yang bernilai sejarah tinggi.
Sayangnya, meski memiliki potensi besar sebagai situs cagar budaya dan objek wisata sejarah, Stasiun Cikajang belum mendapatkan perhatian yang layak untuk pelestariannya. Jika di rawat dan di restorasi dengan baik, bangunan ini bisa menjadi contoh penting bagaimana warisan arsitektur kolonial dapat di konservasi dan di manfaatkan kembali secara modern. Kehadiran stasiun ini tidak hanya penting dalam konteks sejarah perkeretaapian, tetapi juga sebagai bagian dari identitas arsitektural masa lalu yang dapat memperkaya narasi sejarah lokal dan nasional.
Fungsi Stasiun Cikajang Pada Masa kejayaannya
Fungsi Stasiun Cikajang Pada Masa kejayaannya memiliki peran strategis yang sangat penting dalam mendukung sistem transportasi dan perekonomian di wilayah selatan Jawa Barat, khususnya di daerah Garut. Di resmikan pada tahun 1930, stasiun ini menjadi titik akhir dari jalur kereta api Cibatu–Garut–Cikajang yang di bangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Jalur ini di rancang untuk mengangkut hasil-hasil bumi dari daerah pegunungan yang subur. Seperti teh, kopi, karet, dan hasil pertanian lainnya, menuju pusat distribusi dan pelabuhan di utara. Dengan begitu, Stasiun Cikajang menjadi simpul logistik penting yang menghubungkan daerah pedalaman dengan pasar ekspor.
Selain fungsi ekonomi, stasiun ini juga memfasilitasi mobilitas masyarakat pedesaan. Di masa itu, belum banyak kendaraan pribadi atau jalan darat yang memadai, sehingga kereta api menjadi moda transportasi utama. Masyarakat menggunakan kereta untuk bepergian ke kota-kota besar seperti Garut dan Bandung, baik untuk berdagang, bekerja, maupun keperluan sosial lainnya. Perjalanan yang dulunya sulit dan memakan waktu lama dapat di persingkat berkat kehadiran jalur kereta yang efisien dan terjangkau. Dalam konteks sosial, Stasiun Cikajang berperan penting sebagai pusat pertemuan warga dari berbagai desa, yang menunggu kedatangan atau keberangkatan kereta.
Stasiun ini juga menjadi simbol kemajuan teknologi pada zamannya. Dengan letaknya di ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut, jalur menuju Cikajang menghadirkan tantangan teknis tersendiri. Namun dengan perencanaan matang, rute tersebut berhasil di bangun lengkap dengan jembatan dan tanjakan curam. Menjadikan Stasiun Cikajang sebagai stasiun tertinggi di Indonesia.
Perubahan Kondisi
Perubahan Kondisi Stasiun Cikajang saat ini sangat kontras jika di bandingkan dengan masa kejayaannya. Setelah berhenti beroperasi pada tahun 1982, stasiun ini tidak lagi menerima aktivitas perjalanan kereta api dan secara perlahan mulai terlupakan. Selama lebih dari 43 tahun, bangunannya terbengkalai tanpa pemeliharaan memadai, membuatnya mengalami kerusakan fisik yang cukup parah. Atap yang dulu kokoh kini mulai lapuk dan sebagian runtuh, dinding bangunan mengelupas, serta jendela dan pintu banyak yang hilang. Area di sekitar stasiun di tumbuhi semak belukar, dan sebagian ruangannya kini di gunakan warga. Untuk menyimpan barang-barang bekas atau bahkan menjadi tempat berteduh hewan ternak. Aset bersejarah yang pernah menjadi kebanggaan ini kini lebih menyerupai bangunan tua yang tak terurus.
Meski begitu, masih ada sisa-sisa identitas sejarah yang tersisa. Tulisan “Station Tjikadjang” dengan ejaan lama masih dapat di lihat di dinding luar bangunan. Menjadi penanda bahwa tempat ini pernah memainkan peran penting dalam sejarah transportasi di Indonesia. Di bagian belakang gedung juga masih terdapat informasi teknis mengenai tahun pembangunan dan ketinggian stasiun. Elemen-elemen ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta sejarah, peneliti, dan fotografer yang sesekali berkunjung untuk mengabadikan warisan masa lalu. Namun, potensi tersebut belum di dukung oleh perhatian serius dari pemerintah atau lembaga terkait.
Saat ini, wacana reaktivasi jalur kereta Cibatu–Cikajang kembali mengemuka, terutama setelah jalur Cibatu–Garut berhasil di aktifkan ulang. Pemerintah menganggap jalur ini penting untuk menunjang konektivitas wilayah selatan Jawa Barat. Namun, upaya tersebut menghadapi tantangan besar, mulai dari keterbatasan anggaran. Hingga kondisi fisik jalur yang harus di bangun ulang hampir dari nol. Rencana itu memberikan secercah harapan bahwa Stasiun Cikajang bisa kembali hidup. Bukan hanya sebagai sarana transportasi, tetapi juga sebagai warisan budaya dan sejarah. Inilah perubahan yang terjadi pada Stasiun Cikajang.